Toko Bunga Di Yogyakarta
Toko Bunga Di Yogyakarta
toko bunga di jogjakarta, florist jogja, toko bunga jogja, karangan bunga duka cita, papan bunga. Florist jogja 24 jam, toko bunga di yogyakarta, bunga papan, hand bouquet, Flower box, pengiriman jogja, sleman, bantul, kulon progo, gunung kidul.
________________________________________________________________________________________
Prajurit Keraton Yogyakarta
Baju keprajuritan sudah diketahui dalam riwayat Kasultanan Yogyakarta semenjak Pangeran Mangkubumi masih berperang menentang pemerintah VOC (Kompeni Belanda). Baju keprajuritan ini lalu beralih dari sekian waktu sampai yang kita kenal sekarang ini.
Baju perang Pangeran Mangkubumi berbentuk seperti seragam, celana serta bebed (kain yang tutup tubuh sisi bawah serta kaki), pakaian sikepan (pakaian luar yang digunakan waktu bawa senjata), udheng atau ikat kepala, sebilah keris yang diselipkan dalam sabuk, serta sebuah keris yang digantungkan pada sabuk.
Gubernur VOC Nicolaas Hartingh sempat menggambarkan baju yang dipakai Pangeran Mangkubumi waktu pertemuan pribadi mereka di Pedagangan, Grobogan, waktu mereka membicarakan gugatan Pangeran Mangkubumi atas bumi Mataram. Pangeran Mangkubumi memakai baju putih serta kain, menggunakan dua keris, tutup kepala ulama yang dibalut dengan ikat kepala linen halus berjahit benang emas. Beberapa pengiring Pangeran Mangkubumi kenakan pakaian yang serupa.
Gambaran tentang baju yang dipakai Pangeran Mangkubumi dalam berperang menunjukkan bahwa baju keprajuritan pada awal Kasultanan Yogyakarta sudah dikuasai oleh kebudayaan Islam. Tetapi melihat beberapa lukisan mengenai prajurit Jawa pada saat-saat awal Kasultanan Yogyakarta, tidak bisa disebutkan jika corak Islam ada pada setiap seragam prajurit.
Pada saat Sri Sultan Hamengku Buwana IV (1816-1823), design Eropa mulai digunakan pada baju prajurit keraton. Ini bertepatan dengan diterimanya pengaruh-pengaruh Eropa pada banyak hal, termasuk juga pemberian pangkat Mayor Jenderal tituler pada Sultan yang berkuasa.
Setelah kekalahan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa (1825-1830), pemerintah Hindia Belanda memotong potensi militer Kasultanan Yogyakarta sampai prajurit keraton cuma berperan jadi kesatuan pengawal istana serta upacara keraton saja. Mulai waktu berikut baju prajurit keraton berkembang jadi yang diketahui saat ini. Sekarang ini kita lihat beberapa unsur Eropa itu diselipkan dengan bijak berbentuk kaos kaki, sepatu, atau topi.
Design dari baju prajurit keraton tidak sebatas memburu keindahan semata-mata. Mulai warna sampai motif kain mempunyai muatan filosofisnya sendiri. Di dunia simbolik Jawa ada arti mancapat serta mancawarna. Semua hal di dunia dibagi ke empat sisi yang menyebar selesai arah mata angin, serta satu sisi ditengah-tengah jadi pusatnya. Demikian dengan empat jenis nafsu manusia, yakni aluamah, amarah, supiyah, serta mutmainah. Ke empat nafsu ini lalu direalisasikan dalam empat jenis warna, yakni warna hitam, merah, kuning, serta putih.
Warna hitam terdapat di utara. Warna merah ada di selatan. Warna putih di timur. Warna kuning berada di barat. Sedang jadi pusat ialah kombinasi beberapa warna itu. Semasing warna itu mempunyai asosiasi dengan beberapa jenis hal. Seperti karakter, beberapa benda, atau titah alus.
Pada baju prajurit keraton, beberapa warna ini mempunyai arti atau asosiasinya semasing.
Warna hitam dipakai dengan menguasai pada pakaian, celana, serta topi Prajurit Bugis, pakaian prajurit Prawiratama, pakaian beberapa Prajurit Nyutra Ireng, serta topi mancungan dari Prajurit Dhaeng. Warna hitam ialah warna tanah. Dalam warga Jawa, warna ini bisa disimpulkan jadi keabadian serta kemampuan.
Warna wulung, yakni hitam keunguan, dipakai oleh sebagian besar prajurit. Contohnya untuk blangkon Prajurit Dhaeng atau untuk dodot yang digabungkan dengan warna putih. Warna wulung dekat sama warna hitam hingga berarti sama.
Warna biru dipakai dengan hanya terbatas. Contohnya pada kaos kaki Prajurit Jagakarya, lonthong (sabuk) Prajurit Dhaeng (Jajar Sarageni, Jajar Sarahastra, serta Prajurit Dhaeng Ungel-ungelan). Arti dari pemakaian biru dekat sama arti warna biru yang berkonotasi teduh serta ayom.
Warna hitam dalam mancapat berasosiasi dengan arah utara, besi, burung dhandang (seperti bangau hitam), lautan nila (warna biru indigo), hari market Wage, dan Dewa Wisnu. Warna ini adalah perwujudan dari nafsu aluamah, yakni nafsu yang basic seperti nafsu untuk minum dan makan.
Warna merah dipakai pada beberapa pasukan. Prajurit yang paling menguasai memakai warna merah ialah Prajurit Wirabraja, yang memakai warna ini pada topi centhung, pakaian sikepan, celana, srempang, serta endhong. Prajurit lain yang memakai warna merah ialah Prajurit Dhaeng. Warna merah diaplikasikan pada hiasan di muka dada, ujung lengan pakaian, dan plisir pada samping celana.
Prajurit Nyutra Abang memakai warna merah pada pakaian tanpa ada lengan serta celana. Prajurit Prawiratama memakainya jadi celana. Prajurit Patangpuluh memakai warna merah untuk pelapis pakaian dan rangkapan pakaian serta celana. Warna merah dipakai dalam kain cindhe yang dipakai oleh beberapa pasukan prajurit. Warna jingga atau oranye dipakai untuk pakaian dalam Prajurit Jagakarya. Warna ini jarang-jarang dipakai serta seringkali dimasukkan ke warna merah.
Merah seringkali dikonotasikan dengan keberanian. Dalam mancapat, warna merah berasosiasi dengan api, arah selatan, logam swasa (kombinasi di antara emas serta tembaga), burung wulung, lautan darah, hari market Pahing, dan Dewa Brahma. Warna ini adalah perwujudan nafsu amarah, dimana manusia mempunyai nafsu untuk bercita-cita hidup sejahtera, termasuk juga nafsu untuk mempunyai harga diri.
Warna kuning tidak dipakai dengan menguasai pada prajurit keraton. Warna ini cuma dipakai jadi hiasan saja. Warna kuning berarti keluhuran, ketuhanan, serta ketentraman.
Warna emas dipandang dekat sama warna kuning. Warna kuning emas dipakai contohnya oleh Prajurit Wirabraja untuk plisir pada topi centhung Panji serta plisir pada pakaian sikepan Panji. Warna emas dipakai diantaranya untuk memperbedakan di antara Lurah serta Prajurit Jajar. Warna emas ialah simbol kemuliaan serta keagungan.
Warna kuning dalam mancapat berasosiasi dengan hawa, arah barat, logam emas, burung podhang, lautan madu, hari market Pon, dan Dewa Bayu. Warna ini adalah perwujudan nafsu supiyah, dimana manusia mempunyai harapan untuk nikmati keindahan (lukisan, panorama, kecantikan, dan lain-lain).
Warna putih dipakai oleh sebagian besar prajurit dalam bermacam-macam, khususnya untuk sisi yang sekunder seperti pakaian rangkap, atau sayak. Pasukan yang memakai warna putih dengan menguasai ialah Prajurit Dhaeng serta Surakarsa. Ke-2 pasukan ini memakai warna putih untuk pakaian serta celana panjang. Beberapa lain yang memakai warna putih untuk celana panjang ialah Prajurit Ketanggung, Prawiratama, serta Patangpuluh.
Warna putih bersisihan dengan arti dengan kebersihan serta kesucian. Dalam mancapat, warna putih berasosiasi dengan arah timur, perak, burung kuntul, air, santan, hari market Legi, dan Dewa Komajaya. Warna ini adalah perwujudan nafsu mutmainah, dimana manusia mempunyai jiwa yang bersih serta dapat memperbedakan hal baik serta hal jelek.
Tidak hanya dibedakan atas warna, kain yang dipakai untuk bahan serta peralatan baju prajurit mempunyai motif. Motif yang ada diantaranya batik, lurik, serta cindhe. papan bunga jogja
Kain dengan motif batik dipakai oleh beberapa Manggala, Wedana Ageng, Pandhega, serta Panewu Bugis. Prajurit lain yang kenakan kain batik ialah Surakarsa. Kain batik dipakai dengan simbolik untuk tunjukkan terdapatnya hirarki. Kain batik dengan macam hiasnya yang beragam itu mempunyai semakin banyak arti serta relatif tambah mahal mempunyai semakin banyak arti dibanding sebatas kain polos.
?Kain dengan motif lurik dipakai jadi pakaian luar untuk Prajurit Jagakarya, Ketanggung, Mantrijero, Patangpuluh, serta Langenastra. Baik untuk Lurah Parentah atau untuk Prajurit Jajar. Kain lurik bukan kain mahal seperti batik. Filosofinya pun tidak sesarat kain batik. Kain ini condong dipakai untuk baju keseharian seperti surjan serta peranakan. Oleh karenanya, arti kain ini condong pada kesederhanaan, kesetiaan, serta kejujuran.
Motif lurik yang dipakai jadi baju seragam prajurit keraton diberi nama Lurik Ginggang yang bermakna renggang sebab di antara lajur warna yang sama di isi oleh lajur warna yang lain. Tetapi arti yang lebih dalam ialah kesetiaan prajurit pada rajanya, dan jalinan antar prajurit jangan pernah ada kerenggangan.
Warna lurik yang dekati abu-abu melambangkan kasih sayang serta restu raja pada prajurit seperti abu yang tidak bisa dibakar oleh api. Meski begitu, ada motif lurik yang berlainan antara prajurit-prajurit itu. Dalam soal ini, ketidaksamaan motif bisa dipandang berarti jati diri.
Kain dengan motif cindhe dipakai untuk celana panji-panji, lonthong (contohnya untuk Manggala, Prajurit Ketanggung, Prajurit Patangpuluh, serta Prajurit Mantrijero), dan bara (contohnya untuk Manggala, Prajurit Patangpuluh, serta Prajurit Mantrijero). Cindhe adalah motif kain yang dipengaruhi dari India. Pemakaian motif ini bisa berarti tehnis jadi aksen dari kain-kain polos serta batik. Umumnya berdasarkan warna merah. Pemakaian warna yang condong memperjelas arti keberanian yang disandang oleh beberapa prajurit.
Dengan memperhatikan warna serta motif baju, prajurit keraton bisa dibedakan dengan gampang. Prajurit Wirabraja gampang dikenali melalui baju yang menguasai merah. Termasuk juga topinya yang berbuntut lancip hingga seringkali dikatakan sebagai Prajurit Lombok Abang.
Prajurit Nyutra terdiri dua. Prajurit Nyutra yang menggunakan pakaian merah serta yang menggunakan pakaian hitam. Persamaannya ialah ke-2 prajurit itu memakai lengan pakaian berwarna kuning. Pada waktu dulu, warna kuning itu ditampilkan dengan lulur langsung diberi pada kulit lengan serta kaki prajurit.
Ada dua prajurit yang bisa dikenali melalui bajunya yang menguasai putih. Prajurit Surakarsa serta Prajurit Dhaeng. Perbedaannya ialah Prajurit Dhaeng mempunyai hiasan berwarna merah di dada.
Mengenai prajurit yang bajunya menguasai hitam ialah Prajurit Bugis serta Prajurit Prawiratama. Perbedaannya ialah Prajurit Bugis memakai topi tinggi berupa silindris.
Ada empat bregada prajurit yang memakai baju bermotif lurik. Prajurit Ketanggung, Prajurit Patangpuluh, Prajurit Mantrijero, serta Prajurit Jagakarya. Bedanya gampang disaksikan dari celana serta kaus kaki. Prajurit Ketanggung memakai celana hitam. Prajurit Patangpuluh memakai celana merah. Prajurit Mantrijero serta Jagakarya saling memakai celana bermotif lurik, tetapi Prajurit Mantrijero memakai kaos kaki putih sedang Prajurit Jagakarya memakai kaos kaki hitam/biru tua.
Baju prajurit keraton memang sudah kehilangan manfaat praktisnya dalam peperangan. Ini sesuai manfaat prajurit keraton yang awalnya jadi kesatuan militer menjadi pengawal kebudayaan. Walaupun begitu, simbol-simbol yang diwakili oleh baju serta atribut yang dipakai oleh prajurit keraton tidak lalu sirna. Watak ksatria yang dipunyai oleh prajurit keraton diinginkan masih digenggam teguh oleh beberapa prajurit serta bisa dipancarkan pada warga yang lebih luas.
No comments